Assalamu'alaikum . . Sugeng Rawuh Dateng Blog'e Cah Santri

Kisah Para Kyai


Awaluddin Batubara:
"Sehari 6 Juz"
Mata indera boleh buta, tapi mata hati harus berfungsi. Begitu semboyan yang selalu digenggam Ust Awaluddin Batubara. Buktinya, meski tuna netra, pria ini fasih membaca al-Quran. Bahkan bertitel hafizh sejak usia 20-an. "Ana"menggunakan al-Quran huruf Braille untuk menjaga hafalan," ujarnya.
Sejak kecil, pria kelahiran Padangsidempuan (Sumut) ini sudah gandrung kepada al-Quran. Saking cintanya, ketika di kelas III SD Awaluddin tak segan-segan membohongi guru agar bisa mendengar bacaan muratal di radio tetangga. Kadang pakai alasan buang air kecil atau cuci muka. Yang penting bisa keluar kelas. Entah apa sebabnya, hatinya merasa terharu bila mendengar lantunan ayat-ayat Allah. Tak jarang ia sampai terisak-isak. "Padahal "Ana" belum paham arti bacaannya," kata pria ramah ini.
Bulan Ramadhan menjadi saat yang ditunggu-tunggu. Dengan menjalankan ibadah puasa, hafalannya bisa lebih terjaga. Ini karena hatinya sabar dan jauh dari godaan nafsu. "Orang akan kesulitan menghafal al-Quran bila tidak bisa mengendalikan hawa nafsu," Awaluddin membuka resep.
Dia juga rajin tadarus, menyimak bacaan orang lain, membaca ketika shalat, dan mengajarkan bacaan al-Quran kepada orang lain. Dengan rutinitas semacam itu, Awaluddin rata-rata mampu melahap 3 juz per hari. Kalau Ramadhan? "Minimal dua kali lipatnya. Rasulullah kan memerintahkan kita untuk banyak tadarus di bulan suci," katanya.
Matanya yang cacat itu akhirnya lebih sering menangis. "Apalagi kalau saya membacanya sebelum sahur, ketika orang terlelap tidur, air mata ini seakan tumpah. Bukannya ana menyesali mata yang tidak berfungsi, tapi justru sangat bersyukur karena Allah menganugerahi sebuah kelebihan yang tidak dimiliki banyak orang."
Mata Awaluddin mulai terasa tidak beres sejak anak-anak. Awalnya cuma kabur, tapi ketika duduk di kelas VI SD penglihatannya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Apa boleh buat, pria yang sebenarnya gemar membaca ini terpaksa berhenti sekolah hanya beberapa saat sebelum ujian akhir.
Awaluddin kecil yang dikenal cerdas ini kemudian masuk ke sebuah pesantren. Hobinya mendengar al-Quran bisa tersalur dengan lebih baik. Bahkan lama-lama muncul obsesi untuk menjadi seorang hafizh. "Ustadz dan teman-teman sesama santri yang membantu membacakan ayat untuk ana."
Dasar otaknya encer, dalam waktu 2,5 tahun, hafalan 30 juz sudah tersimpan di kepala. Namun dia mulai dihinggapi kegelisahan, jangan-jangan hafalan itu suatu saat hilang karena matanya tak bisa membaca. "Hilangnya bacaan bagi seorang hafizh adalah suatu musibah," ujarnya.
Maka pada tahun 1994 Awaluddin mengikuti pendidikan khusus untuk tuna netra di Jakarta. Begitu selesai, dia langsung diajak seorang sarjana lulusan Timur Tengah untuk merintis pesantren tahfizh Quran di Lampung. Sukses merintis pesantren, Awaluddin lantas direkrut menjadi staf pengajar di Pesantren Husnayain Jakarta, sampai saat ini. Kelak, ayah dua anak ini ingin mendirikan pesantren tahfizh Quran di kampung halamannya. "Mohon doa," pintanya.· (pam)

Gito Rollies
"Taubatan Nasuha"
Mantan rocker Gito Rollies kini lebih sering menangis daripada menyanyi. Apalagi bila Ramadhan tiba, tangisnya semakin menjadi-jadi. Pasalnya, Gito sering teringat kisah hidupnya di masa lalu yang kelam. Hidupnya dulu memang dipenuhi narkotik, diskotik, dan berbagai tindak maksiat.
Toh begitu, Ramadhan menjadi saat yang ditunggu-tunggu. "Saya rindu berkumpul dengan orang banyak dalam shalat tarawih. Juga ingin da'wah keliling, karena pada bulan ini masyarakat lebih mudah tersentuh oleh syiar Islam," katanya.
Dalam kesempatan semacam itu, Gito merasa tenang. Dia pun selalu menasihatkan kepada semua orang agar jangan meninggalkan pola hidup berjamaah. "Kalau seorang Muslim jauh dari jamaah, maka ia akan diterkam oleh syetan, sebagaimana domba yang keluar dari kumpulannya akan diterkam serigala," kata aktivis Jamaah Tabligh ini.
Suami dari wanita berdarah Belanda, Michelle van der Rest, ini sejak tiga tahun lalu juga selalu i'tikaf di 10 hari terakhir. Karena itu Gito tak menerima tawaran main sinetron atau manggung di akhir Ramadhan, agar bisa berdiam diri di masjid. "Rasulullah mengajarkan agar kita banyak bermuhasabah di masjid, dan saya ingin menirunya."
Satu lagi yang ingin dilakukannya adalah ingin menguruskan badan. "Hidup saya sekarang terasa tenang sehingga semua makanan terasa enak. Semoga nafsu makan saya bisa terkendali sehingga badan ini lebih kurus."
Semua itu dilakukan sebagai pertobatan yang sungguh-sungguh atas kekhilafannya di masa lalu. Juga merupakan wujud rasa syukur atas kebahagiaan sejati yang kini telah berhasil direngkuhnya. Gito pun bertekad, umurnya yang masih tersisa akan dimanfaatkan secara total semata-mata untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. "Allah sayang sekali kepada saya. Selama ini Dia terlalu banyak menolong, maka saya juga harus menolong agama-Nya."
Apa yang dilakukannya kadang mengundang komentar dari rekan-rekannya sesama artis. Ada yang memuji, namun ada pula yang sinis. Dikatakan sok alim lah, atau bau syurga lah. Tapi ibarat anjing menggonggong, khafilah terus berlalu. "Tak perlu mempedulikan omongan seperti itu. Yang saya perhatikan adalah bagaimana Allah melihat kita dengan kebenaran yang dikehendaki-Nya, bukan kebenaran yang dimaksud oleh manusia. Kebenaran yang dimaksud manusia belum tentu kebenaran yang dikehendaki Allah," ayah empat anak ini seakan memperlihatkan kemahirannya ceramah.
Itu pula yang selalu dia sampaikan di masjid, rumah, ruang seminar, bahkan di pasar atau jalan. Bangun Sugito nama aslinya kini memang lebih pas disebut juru da'wah daripada artis atau rocker. Dan laki-laki kelahiran Biak 1 November 1946 ini makin percaya diri dengan sebutan itu. "Ini bukan pekerjaan main-main, sebab juru da'wah berperan penting dalam menyadarkan ummat supaya bertobat," alasannya.· (hidayaturrahman, pam)




Zawawi Imron:
Menemukan Kesegaran
Setiap Ramadhan, Zawawi seperti kembali kepada masa kecil, masa yang penuh kesegaran. Awalnya ia terheran-heran, mengapa ayah dan ibunya, juga tetangga-tangganya, berhari-hari tidak makan siang. Malam harinya ia melihat orang berbondong-bondong ke masjid. Ia juga diajak ayahnya ke sana, tapi tidak ikut shalat. Hanya nonton bersama anak-anak lainnya. Sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, apa sebenarnya yang mereka lakukan? Lama-lama kemudian terbangun sejenis pengertian, tapi tak mampu terjelaskan. Maklumlah Zawawi masih berumur 3-4 tahun.
Zawawi lahir dan besar di sebuah dusun yang terletak sekitar 20 kilometer dari Sumenep Madura. Dusun itu berada di sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kelapa dan pepohonan lainnya. Zawawi kecil sering menikmati semilirnya angin yang berhembus memainkan daun-daun siwalan dan kelapa. "Itu merupakan keindahan yang membangun relegiusitas saya. Bahwa dunia ini ada yang menciptakan dan sang penciptanya tidak lain adalah Allah swt. Itu saya pahami setelah saya sekolah SD kelas 6," tuturnya.
Meski reputasinya sebagai penyair dan budayawan telah diakui secara nasional, Zawawi hingga kini masih betah tinggal di dusun kelahirannya itu.
Semakin dewasa umurnya, ia kian memahami apa arti puasa. Dibalik rasa lapar ia menemukan keindahan. Lapar yang diperintahkan Allah sebagaimana rasa lapar yang dialami Rasulullah. "Karena di sini menjadi harmoni dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya," ujar penyair yang mendapat julukan Celurit Emas itu.
Mengenang masa kanak-kanan, masa di mana penuh kesegaran itu penting, kata Zawawi. Terutama untuk menumbuhkan kesegaran kambali. "Dan spirit seperti itu diperlukan untuk berjuang pada masa sekarang, setelah kita menjadi tua," katanya.
Dan bila nostalgia itu punya muatan-muatan relegius, maka itu bakal menambah rasa taqarub kita kepada Allah swt.
Pengalaman-pengalam masa kecil itu sangat nostalgia, yang kalau bulan ramadhan muncul kembali. Begitu bulan puasa tiba, ia ingat masa kecilnya saya. "Dan itu indah sekali. Kami saat itu berbuka dengan makanan sederhana, seperti kue yang dibuat dari singkong, nasi janggung yang dicampur beras sedikit." Kesederhaan itu terbawa sampai sekarang. "Saya bisa berbuka dengan makanan apa adanya tak berbeda pada hari biasanya."
Buat Zawawi, nikmatnya makanan itu bukan karena dibuat dari apa. Sebab makanan yang dibuat dari bahan luks, itu mungkin enak sekali tapi belum tentu nikmat. "Saya berpendapat antara enak dan nikmat itu lain." Enak itu adalah rasa lidah terhadap materi makanan. Nikmat adalah rasa hati terhadap karunia Allah kalau makanan yang hendak kita makan itu makanan halal. Itu luar biasa. "Begitu kita merasakan kenikmatan, enak itu bisa menjadi nomor sekian. Yang penting itu rasa nikmat. Nikmat itu ada semacam sesuatu yang merayap, ada nadi-nadi rohani yang merayap sekujur tubuh. Ada rasa syukur yang setinggi-tingginya kepada Allah yang masih memberi umur kita sehingga masih bertemu dengan Ramadhan dan memberi rejeki yang halal." Jadi, kalau kita berbuka dengan makanan haram, bagaimana bisa nikmat.
Mengajari anak-anak puasa sejak kanak-kanak, itu sangat penting dasn besar pengaruhnya. Makanya saya umur 3-4 tahun sudah diajak bapak ayah shalat tarawih walau masih nonoton saja. Itu sangat besar pengaruhnya, walau kita baru tahu maksudnya setelah baliqh barangkali. Tapi itu menanamkan nilai yang tidak hanya bersifat rasional, melihat ruku, sujud itu mungkin ada peristiwa estetik dari gerakan-gerakan orang. "Anak-anak menyaksikan itu pasti ada sesuatu yang mengetuk batinnya, yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Dan bila itu disertai hidayah Allah, itulah yang akan membangun masa depannya, yang membuat mereka senang shalat dan sebaiknya."

Ust Ja'far Umar Thalib:
"Perang di Bulan Suci"
Perut kosong bukan berarti lapar. Begitu kata Ust Ja'far Umar Thalib. Ini dirasakan betul ketika Panglima Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini memimpin anak buahnya dalam pertempuran di Maluku, Ramadhan tahun lalu. "Dalam perang di hari biasa, kami merasakan cepat lapar dan haus. Ketika Ramadhan, lapar dan haus baru terasa menjelang buka puasa," ujarnya.
'Efek' puasa lainnya, anak buahnya lebih mudah diatur dalam formasi pertempuran. Di hari-hari biasa, pengaturan formasi serangan seringkali harus melewati perdebatan yang bertele-tele dulu sebelum akhirnya disepakati untuk penyerangan. "Kami merasa lebih kuat semangat tawakalnya, dan lebih enteng untuk berangkat jihad. Bisikan-bisikan dunia juga lebih kecil dan mudah diatasi."
Wajar, sebab Ja'far mengimani betul apa yang difirmankan Allah bahwa setan-setan akan dibelenggu selama bulan Ramadhan. "Yang kita hadapi tinggal setan dalam bentuk manusia," ujar pria keturunan Arab ini.
Satu lagi modal keberaniannya berperang dalam keadaan puasa, yakni fakta sejarah bahwa ummat Islam selalu menang dalam perang di bulan Ramadhan. Misalnya Perang Badar, atau Perang Salib. "Kami makin bersemangat, apalagi Allah akan melipatgandakan pahala jihad 700 kali bila perang di bulan Ramadhan," lanjut veteran perang Afghanistan ini.
Ummat Nasrani sempat dibuat keder oleh sepak terjangnya. Ramadhan lalu, Ja'far sempat mengultimatum akan membuat perayaan Natal berdarah bila orang-orang non-Muslim membuat ulah. Dia nekad menyelenggarakan shalat Iedul Fitri di lokasi puing-puing Universitas Pattimura yang dikuasai orang Nasrani. Aparat keamanan dan pemerintah setempat melarangnya, khawatir pecah pertempuran. "Orang Kristen justru saya tantang bertempur kalau berani mengganggu ibadah ini."
Gertakan yang cukup manjur. Shalat Iedul Fitri itu berlangsung aman. Teluk Ambon tenang, tidak ada perahu milik orang Nasrani yang berani mendekat. "Ini karena pengaruh bulan Ramadhan. Mereka tahu bahwa semangat kita sangat tinggi dan selalu siap berperang."
Shalat di sekitar reruntuhan bangunan itu juga mengandung pesan tersendiri. Yaitu mengajak ummat untuk terus mewaspadai ancaman musuh dan tidak terlena untuk yang kesekian kalinya. "Penindasan terhadap ummat Islam di Aceh, Ambon, Poso, juga di Afghanistan, Palestina, Chechnya, Kashmir, dan tempat lain, tidak lepas dari skenario Perang Salib."
Berkaitan dengan krisis Afghanistan akhir-akhir ini, Ja'far lembali membuka file perjuangannya di sana. "Serangan bangsa kafir yang dilakukan di Afghanistan adalah untuk menghancurkan negara Islam Afghanistan. Begitu pula serangan antek-antek mereka di Indonesia atas ummat Islam, dimaksudkan untuk menghancurkan negara kesatuan Republik Indonesia. Ini ancaman sangat serius, jadi jangan dilupakan dan beralih perhatian kepada peristiwa lain," pesannya.· (bah, pam)

0 komentar:

Posting Komentar